I write about values, jalan-jalan, anak-anak, fun learning and so on.

Kamis, 05 Januari 2017

Homeschooling? Are you sure?

Homeschool atau Sekolah Formal?


"Kami homeschool." 
Dua kata ini mengubah duniaku. Mau tidak mau, saat kami memutuskan untuk homeschool, hidup kami dan anak-anak berbeda dengan hidup kebanyakan orang.

Di masa-masa kami bergumul memutuskan untuk homeschool atau sekolah formal, segudang pertanyaan memenuhi benakku dan kadang-kadang menjadi keraguan yang mengganggu.
Bagaimana aku yakin anak-anakku belajar semua hal yang perlu mereka tahu?
Kurikulum apa yang mau kita pakai?
Bagaimana jadwal sehari-hari?
Apa aku benar-benar mampu?
Apa yang aku mesti lakuin sekarang?

Sungguh, pertanyaan-pertanyaan itu mengusik keberanianku untuk mengambil keputusan ini. Belum lagi komentar dan pertanyaan orang sekitar yang sebenarnya aku yakin, mereka berkomentar karena kepedulian mereka, bukan karena mereka rese... bukan, bukan itu. I know it.

"Kaya anak ga normal aja, homeschool segala..."
"Ntar sosialisasinya gimana? Ntar anak lu kuper loh."
"Lebih baik sekolah formal, dia belajar dari banyak guru. Kalo di rumah kan ama elu doang..."
"Emang lu yakin, lu bisa?"
"Itu tanggung jawab besar loh, lu serius?"
"Hah? Namanya anak ya mesti sekolah lah...! Mau jadi apa anak lu kalo ga sekolah?"
Dan lain-lain, dan lain-lain yang bikin aku makin mengkerut untuk memasuki hutan belantara homeschool.

Saat itu, anak pertamaku Lio berumur dua tahun dan kami mulai mempelajari lebih dalam tentang homeschool. Kami berkenalan dengan keluarga-keluarga homeschool yang lain dan mendatangi rumah mereka untuk melihat langsung buku-buku dan ruang kelas mereka, dimana biasanya terdapat satu meja untuk si pengajar (mama) dan meja-meja kecil lain untuk anak-anaknya.
Hmmm... seru juga.... tembok-tembok penuh dengan tempelan rumus-rumus dan jadwal harian, buku-buku memenuhi rak, dan kehangatan sangat terasa dalam keluarga-keluarga tersebut.
Ya, kehangatan... karena anak-anak selalu di rumah dan mereka terbiasa berdiskusi bersama maka tercipta kedekatan antar orangtua dan anak.

Nah, hubungan kedekatan inilah yang paling menarik buat aku untuk tetep nekad berhomeschool. Dengan homeschool, banyak sekali waktu bersama dan selain belajar hal-hal akademis bersama, mereka belajar mengenal cara belajar satu sama lain (papa mamanya juga perlu belajar lagi loh), belajar menangani konflik bersama, dan belajar gimana caranya belajar bersama di satu ruang dengan anak berbeda umur dan materi pelajaran yang berbeda. Rame? Pastiiiii..... Rusuh? Hmmm yaaaa sometimes... hehehe.

Setelah mempelajari dari berbagai keluarga, masih saja aku belum mendapatkan gambaran yang jelas bagaimana aku akan jalanin homeschool nantinya. Abstrak sekali di pikiranku. Kami berdoa dan menimbang-nimbang (khususnya aku, karena suami udah mantep banget pengen homeschool), dan lalu berdasarkan hasil pertimbangan dan karena liat suami udah mantep banget, wokeeee we'll do it beibeh!

Waktu Lio umur 4 tahun, aku sebenernya agak-agak deg-degan melewatkan kesempatan untuk daftarin dia ke TK. Ah, sekali lagi mantapkan hati, bulatkan tekad, singkirkan ketakutan, hadapi kenyataan,  dan kujalani hidup yang kupilih (kok jadi kaya lagu yak).

So, kita mulai beneran serius pake bahan homeschool di saat  Lio umur 4 tahun. Sambil nyambi urus Zo yang waktu itu umur 1 tahun dan masih nyusu... ooh repot, iya bener repot. Zo berada di ruang yang sama dengan kami sambil main sendiri atau duduk di pangkuanku. Kalo aku urus Zo bentaaar aja, Lio langsung ilang konsen dan bukan cuma konsennya doang yang ilang, tapi Lio nya juga ngilang karena dia masuk kolong, ngumpet sambil ketawa-tawa. Haiyaaaa....  ulang lagi dong dari awal, warming up lagi biar dia konsen lagi. Di satu tahun pertama perjuangan banget buat kita, berjuang keras untuk adaptasi. Lio pertama kalinya mesti duduk belajar dengan serius setelah tiga tahun hidupnya happy-happy setiap hari.

Di awal kami mulai, Lio cuma belajar dua subject, yaitu phonics dan math. Nah karena guru cabutannya ini ga pernah tau apa itu phonics, otomatis si guru cabutan ini kudu belajar dulu tentang phonics di saat dua muridnya udah bobo. Kadang ada masanya aku bingung di tengah-tengah aku lagi ngajar... aku diem dan baca ulang dan ulang lagi. Lio biasanya bilang "Mama bingung yaaaa?" trus dia pelan-pelan melipir turun dari kursi dan cari mainannya. Ntar waktu aku sudah ngerti, baru aku panggil lagi, "Liooo ayo kita lanjut."
"Mama sudah ngerti? Sungguh?"
Dan muridpun mengerti bahwa gurunya tidak sungguh-sungguh mengerti ahahaha....

Kadang-kadang waktu aku serius bacain sesuatu untuk Lio, dia dengerin dengan serius tapi lama-lama matanya tertutup secara bertahap. Yaaaah.... pules deh dia. Ya udahlah biarin dia bobo 30 menit, trus dibangunin dan suru cuci muka laluuuu kita mulai lagiiii. Nah karena itu aku belajar untuk menentukan jadwal yang konsisten setiap hari untuk memulai kegiatan belajar, biarpun buat aku untuk jadi konsisten itu susah sekali. Kadang pas lagi mau mulai ngajar, tukang sayur lewat dan aku keinget sisa bawang merah tinggal dikit doang. Lari dulu deh bentar kejar tukang sayur, ajak Lio dan Zo keluar sambil ajarin mereka hitung berapa jumlah bawangnya dan berapa kembaliannya. Ah ga mau rugi, tiap moment dipake untuk belajar.

Sampai hari ini Lio sudah 11 tahun dan Zo 8 tahun, kami masih menjalani homeschool dengan berbagai variasi rasa. Dengan gembira? Iya. Dengan berurai air mata? Iya juga... Dengan marah2? Kadang... Dengan berdarah-darah? Ga lah... lebay itu.

Tapi yang pasti sampai hari ini kami berempat sangat menikmati proses ini. Hal yang aku pelajari adalah bahwa untuk mengajar anak-anak yang pertama-tama perlu diubah adalah diri kita sendiri. Karena they are watching us. BEWARE!!! They are watching us. Apapun yang kita lakukan dan yang kita katakan, itu yang jadi pola untuk apa yang anak-anak lakukan juga nantinya. Dengan homeschool, anak-anak melihat kami sampai ke hal-hal detail dan mereka mengenali setiap kekuatan dan kelemahan kami, karena itu kami membiasakan diri untuk minta maaf apabila kami melakukan kesalahan baik saat kami bersalah terhadap anak-anak maupun saat mereka melihat kami bersalah terhadap orang lain. Minta maaf karena kami tidak menjadi contoh yang baik buat mereka. Dan ga jarang kami menceritakan kegagalan kami kepada anak-anak sebagai contoh supaya mereka ga mengulanginya lagi. Ini justru sangat menghangatkan hubungan kami. Mereka tahu persis bahwa kami jauuuh dari sempurna dan kami bersama-sama saling dukung untuk saling mengisi kekurangan kami.

Oyaaaah, tuh lupa kan. Ini tentang pertanyaan untuk homeschoolers yang pualiiiiing sering di seluruh dunia.

"Pergaulannya gimana? Sosialisasinya gimana?"

Di kota kami ada beberapa komunitas homeschool dan anak-anak kami tergabung di dalamnya. Tiap komunitas ada banyak macam, ada yang ketemu tiap bulan, tiap dua minggu ataupun tiap minggu. Di sana mereka bergaul dari yang kecil sampe yang besar tumplek blek jadi satu, ga dikelompok-kelompokkin sesuai umur. Anak yang besar main bareng anak yang kecil sambil jagain mereka, dan anak-anak kecil belajar untuk respek ke anak-anak yang besar. Di sini juga mereka belajar tentang keteladanan. Anak besar akan menjaga perilakunya karena mereka tahu ada adik-adik yang meneladani mereka. Toh di kehidupan nyata nantinya kita bergaul ga di kelompok-kelompokkin sesuai umur kita kan?

Eh, tapi jawaban ini masih akan menimbulkan pertanyaan yang selanjutnya, yaitu :

"Emang cukup ketemu cuma seminggu sekali?"

Tentang pertanyaan ini, tiap keluarga punya jawaban masing-masing sesuai kondisi keluarga. Kalo dalam keluargaku, dengan jadwal suami yang sangat fleksibel karena dia bukan orang kantoran, jadi aku dan anak-anak sering ikut kalau ada jadwal yang memungkinkan untuk kami ikut. Di sana anak-anak bertemu dengan om-om dan tante-tante, dan mereka jadi terbiasa untuk ngobrol dengan orang dari berbagai usia dan berbagai background. Selain itu, mereka mendapatkan teman-teman main dari les-les yang mereka ikuti.

Next question adalah : "Ntar ijazahnya gimana?"

Sejujurnya, waktu aku memulai homeschool aku sendiri masih belum tau gimana nanti masalah ijazah. Agak nekad juga waktu itu... bukan agak nekad tapi bener-bener nekad. Sambil kami jalani homeschool pelan-pelan aku belajar, ternyata anak-anak bisa ikut ujian kejar paket A, B dan C untuk kelulusan SD, SMP dan SMA. Ga terlalu susah, asal mengikuti syarat-syarat yang diminta di masa itu (kan tiap masa syaratnya bisa ganti-ganti tergantung kebijakan pemerintah yang berwenang saat itu).

Sekarang mari kita coba lihat plus dan minus dari homeschool.

Plus point of homeschool :
1. Kedekatan antara anak dan orangtua
2. Orangtua mengetahui kekuatan dalam diri anak dan bisa fokus mengembangkan kekuatan itu.
3. Fleksibilitas waktu
4. Bisa pilih bahan yang penting-penting aja yang dipelajari.
5. Lebih mengandalkan pengertian anak daripada sekedar hafalan.
6. Kalau anaknya banyak, biaya lebih murah daripada sekolah formal yang swasta.

Minus point of homeschool :
1. Anak kurang merasakan tantangan yang diperoleh dari teman-teman ataupun guru
2. Orangtua, terutama ibu kekurangan waktu untuk diri sendiri
3. Agak susah menerapkan disiplin waktu
4. Butuh mbak buat bantu-bantu kerjaan rumah selama kita ngajar
5. Anak kurang kompetitif

Silakan ditimbang-timbang plus dan minusnya, beda tipis, cuma selisih satu angka tapi bisa dilihat mana hal yang lebih prinsip menurut keluarga kita masing-masing. Yang terpenting, suami istri mesti sepakat, jangan memutuskan untuk homeschool kalo pasanganmu belum setuju untuk itu. Ngejalanin homeschool dengan kesepakatan suami istri aja ga gampang sampe pake nangis-nangis bombay, apalagi kalau tanpa ada kesepakatan antara suami dan istri.

Oke.... semoga tulisan ini berguna untuk yang lagi bingung menimbang-nimbang mau homeschool atau sekolah formal. Homeschool itu baik tapi bukan selalu yang terbaik. Ada kekuatan dan kelemahannya dibanding dengan sekolah formal, tergantung pada kondisi dan kebutuhan masing-masing keluarga.



Read More
Diberdayakan oleh Blogger.

© Elzoria Story, AllRightsReserved.

Blogger theme by Safetricks.com Designed by ScreenWritersArena